MEA ASEAN 2015: Proses Harmonisasi di Tengah Persaingan
MEA ASEAN 2015: Proses Harmonisasi di Tengah Persaingan
Oleh: Joko Siswanto
Istilah Masyarakat Ekonomi ASEAN atau MEA semakin sering terdengar belakangan ini. Seolah tersihir oleh MEA, terlepas mereka paham betul atau sekedar ikut-ikutan, hampir semua hal dikaitkan dengan MEA. Komentar tentang MEA pun beragam, mulai dari yang menakutkan hingga yang menyejukkan dan menyemangati. Penggalan kalimat seperti “serbuan barang, jasa dan tenaga kerja asing” (maksudnya tentu dari sembilan negara ASEAN lainnya); atau “kita hanya sebagai penonton”, atau “Indonesia hanya menjadi pasar” kerap terdengar. Sebaliknya nada optimis seperti “kita harus menjadi tuan rumah di negeri sendiri”, atau “persaingan itu baik untuk mendorong efisiensi dan daya saing”, atau “kita harus segera berbenah untuk menyongsong MEA” dan sejenisnya tak kalah hiruk-pikuknya. Aroma optimisme pada bagian akhir alinea di atas coba dituangkan dalam buku terbitan akhir 2012 oleh Bank Indonesia (BI) setebal lebih dari 300 halaman. Buku ini disusun sebagai kumpulan dari 27 penelitian yang dilakukan BI selama kurun 2009-2011. Seluruh penelitian itu kemudian dikelompokkan ke dalam empat tema besar (BI menyebutnya “area strategis”) sesuai tugas pokok dan fungsi BI pada saat itu yaitu ekonomi makro/moneter, perbankan, sistem pembayaran, dan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Pesan dari Gubernur BI Dr. Darmin Nasution dalam kata sambutannya mengantarkan pembaca tentang motivasi dibuatnya buku ini yaitu keinginan BI untuk ikut memberikan kontribusi pemikiran tentang “permasalahan daya saing di tataran makro dan mikro yang masih perlu kita benahi agar nilai tambah….dapat dinikmati sebanyak-banyaknya oleh pelaku usaha dan ekonomi nasional.” Lalu di bagian akhir kata sambutannya dikatakan “Bank Indonesia senantiasa akan mendukung persiapan MEA nasional khususnya langkah bersama untuk menciptakan sinergi dalam menguatkan daya saing nasional.” Jadi, fokus buku ini adalah bagaimana peran BI dalam mendorong persaingan para pelaku usaha agar mereka lebih siap menghadapi MEA, tentunya di area yang menjadi wewenang dan tanggung jawab BI. Namun sayangnya dari empat “area strategis” yang disajikan dalam buku ini tidak seluruhnya relevan dengan konteks MEA dan peningkatan daya saing sebagaimana yang diharapkan menjadi tema sentral buku ini. Sebagai contoh di bidang ekonomi makro/moneter. Sudah menjadi tugas dan tanggung jawab hampir bank sentral di seluruh dunia ini untuk mencapai dan memelihara kestabilan ekonomi makro dan moneter. Dalam konteks perdagangan bebas (tidak hanya di MEA, tetapi juga WTO/GATS), hak setiap negara dalam mengelola ekonomi makro dan moneter dijamin kedaulatannya sesuai dengan kepentingan dan tujuan ekonomi masing-masing. Aturannya bisa dilihat dalam perjanjian WTO/GATS Pasal 1 huruf (b), bagian Annex on Financial Services. Karena MEA mengacu pada WTO, dalam cetak biru MEA juga ditegaskan bahwa setiap negara ASEAN berhak untuk menerapkan kebijakan apapun yang diperlukan demi menjamin kestabilan ekonomi makro (“the right to adopt necessary measures to ensure macroeconomic stability”). Oleh karena itu isu ekonomi makro dan moneter di ASEAN tidak menjadi materi perundingan dalam konteks MEA. Kalaupun ada hanya terbatas pada pertukaran informasi dan diskusi tentang perkembangan ekonomi terkini di setiap negara, sehingga tidak ada urusannya dengan masalah daya saing. Dalam hal UMKM, perlu dipahami bersama bahwa MEA tidak melulu mengenai perdagangan bebas dan persaingan, tetapi juga ada elemen pembangunan. Seluruh bidang usaha UMKM di Indonesia adalah bidang usaha yang tertutup bagi kepemilikan asing, termasuk dalam konteks MEA. Dalam cetak biru MEA, isu UMKM diletakkan pada pilar “Pembangunan Ekonomi yang Merata” (Equitable Economic Development) dimana isu besarnya adalah bagaimana setiap anggota ASEAN memberdayakan UMKM melalui berbagai fasilitasi oleh pemerintah seperti peningkatan akses terhadap pembiayaan, informasi, pemasaran, dan peningkatan sumber daya manusia. Dari perspektif itu pernyataan yang terdapat dalam buku bahwa “Keterbukaan ekonomi di lingkup ASEAN tersebut akan berdampak signifikan bagi persaingan dunia usaha termasuk sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)” (hal.300) tidak terlalu tepat. Kelompok penelitian di bidang perbankan dan sistem pembayaran mungkin yang paling relevan dengan isu daya saing dalam konteks MEA yang dimaksudkan sebagai tema sentral buku ini. Sekalipun demikian, untuk bidang perbankan (Bab 3), ternyata ulasan dan kesimpulannya berputar di sekitar penguatan prinsip kehatian-hatian (prudential) – yang seperti halnya isu ekonomi makro/moneter – sebenarnya juga berada di luar wilayah diskusi MEA. Begitu pula dengan sistem pembayaran yang dibahas cukup panjang di Bab 4, lebih menekankan pembangunan sistem pembayaran di ASEAN yang handal, aman, efisien dan melindungi kepentingan nasabah, serta bagaimana sistem pembayaran di Indonesia dapat terkoneksi dengan sistem pembayaran di ASEAN tersebut. Jadi semangatnya lebih kepada kerja sama dan harmonisasi dari pada persaingan. Karena bagaimanapun penyelesaian transaksi pembayaran akan dilakukan di negara yang memiliki denominasi dari transaksi tersebut. Seperti penyelesaian transaksi dengan menggunakan mata uang dollar AS pasti dilakukan di AS. Kritik berikutnya tentang kajian di sektor-sektor ekonomi yang bukan merupakan sektor binaan di bawah tanggung jawab bank sentral (Bab 2). Kajian (buku ini memakai istilah “asesmen”, istilah yang tidak ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia) terhadap pasar barang, misalnya, dengan membandingkan keunggulan komparatif (RCA) pada beberapa komoditas unggulan ASEAN5 (Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina dan Thailand), menyimpulkan bahwa Indonesia berpotensi menjadi pasar bagi produk negara ASEAN lainnya. Tidak terlihat benang merah antara keunggulan komparatif komoditas ekspor tersebut dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) BI. Kesimpulan bahwa Indonesia menjadi pasar pun sebenarnya sudah terjadi sebelum MEA dibentuk sebagai konsekuensi negara yang menganut sistem perekonomian terbuka (small open economy). Di bagian lain bab ini juga disimpulkan bahwa struktur ekspor kita didominasi oleh komoditas primer (dalam buku disebut “raw material”). Pertanyaannya kemudian: apakah itu berarti kita harus menggenjot ekspor raw materialsebanyak-banyaknya untuk memperbaiki angka neraca perdagangan? Tidak dijelaskan dalam buku ini. Di bagian berikutnya bab yang sama juga dibahas sektor jasa, yang juga bukan merupakan sektor binaan dan tupoksi BI. Selain hanya memuat kajian sangat sederhana yang melibatkan empat sektor jasa (transportasi udara, e-ASEAN, healthcare, dan pariwisata) dari 12 kelompok sektor jasa berdasarkan klasifikasi WTO dan MEA, kesimpulan yang dibuat pun sangat terburu-buru dan tidak didukung oleh data dan fakta yang lengkap. Misalnya transportasi udara, disana disimpulkan bahwa Indonesia hanya menjadi pasar bagi ASEAN lainnya karena “meskipun jumlah maskapainya banyak tetapi jumlah armadanya relatif terbatas (mungkin maksudnya “sedikit”?-pen.) sehingga jangkauan pelayanannya juga menjadi terbatas”(hal. 51). Klaim tersebut tidak disertai angka atau data pendukung lainnya yang dapat diperbandingkan satu sama lain sehingga pembaca dapat meragukan kebenarannya. Begitu pun pada jasa-jasa lain yang disebutkan dalam kesimpulan. Kalaupun ada, data yang ditampilkan tidak sejalan dengan kesimpulan yang disajikan. Misalnya jasa kesehatan. Disimpulkan bahwa “kualitas health care di Indonesia cukup baik, namun terbatas di kota besar dan harganya relatif mahal.” Tetapi data yang ditampilkan adalah perbandingan infrastruktur kesehatan di lima negara ASEAN (ASEAN5) yang tidak nyambungdengan kesimpulannya. Pun ketika membahas sektor pariwisata, yang ditampilkan angka perbandingan jumlah pelancong di ASEAN5. Dan karena Indonesia angkanya paling kecil lalu disimpulkan hal itu dikarenakan “pengelolaan daerah wisata yang kurang profesional, pengembangan daerah wisata baru yang masih terbatas, dan kurang agresifnya pemerintah atau pengelola pariwisata dalam melakukan promosi.” (hal.52). Dari mana klaim seperti itu berasal? Apakah melalui survei atau lainnya, tidak ada keterangan di dalam buku ini. Sebagai seorang yang memiliki “kemewahan” (privilege) mengikuti proses perundingan di beberapa forum negosiasi perdagangan internasional di bidang jasa, penulis resensi cukup memahami kompleksitas yang terjadi di setiap perundingan tersebut. Tidak seperti halnya barang (goods) yang komoditasnya bisa dilihat, diraba, dan diterawang sehingga bisa diukur berat, dimensi dan volumenya, sektor jasa memiliki aturan tersendiri dalam perdagangan internasional. Perdagangan jasa dilakukan lewat empat cara (“modes of supply”), yaitu melalui pasokan lintas batas (cross border supply of servicesataumode1), konsumsi di luar negeri (consumption abroad atau mode 2), kehadiran komersial (commercial presence atau mode 3) dan pergerakan tenaga kerja (movement of natural person atau mode 4). Contoh mode 1 adalah transaksi belanja daring antara konsumen di Indonesia dengan penjual di luar negeri, atau sebaliknya. Dalam hal ini posisi keduanya tetap berada di masing-masing negaranya tetapi jasanya yang melintasi kedua negara (melalui transaksi daring tersebut). Contoh mode 2 adalah pelajar atau mahasiswa kita yang sekolah di luar negeri, atau sebaliknya. Dengan kata lain konsumen jasa yang menghampiri penjual jasa di luar negaranya. Contoh mode 3 adalah kehadiran perusahaan asing di bidang jasa yang beroperasi di Indonesia, atau sebaliknya. Ini adalah contoh yang paling populer ketika bicara liberalisasi atau perdagangan bebas. Dan contoh mode 4 adalah tenaga kerja kita yang bekerja di luar negeri, atau sebaliknya. Mengingat cukup kompleks dan luasnya pembahasan modalitas, disiplin dan ruang lingkup perundingan sektor jasa dalam perdagangan bebas, termasuk di ASEAN, penelahaan terhadap pasar jasa dalam buku ini sangat dangkal dan sangat premature kesimpulannya. Belum lagi isu yang tumpang tindih dan tali temali dengan isu lain yang tersebar di begitu banyak inisiatif di ASEAN, laksana mie ASEAN tadi, membuat banyak kalangan yang terlibat dalam perundingan di forum ASEAN sangat berhati-hati dalam menarik kesimpulan di setiap analisis terkait MEA. Kekurangan lain buku ini adalah tidak diceritakannya MEA sebagai sebuah proses panjang yang dimulai dengan kesepakatan Preferential Trade Agreement (PTA) untuk beberapa komoditas perdagangan, sepuluh tahun setelah ASEAN berdiri pada 1967. Kemudian mestinya ditampilkan juga perluasan dan pendalaman kerja sama perdagangan bebas di ASEAN baik di intra ASEAN (seperti Common Effective Preferential Tariff/ASEAN Free Trade Agreement (CEPT/AFTA, 1992), ASEAN Framework Agreement on Services(AFAS, 1995), ASEAN Comprehensive Investment Agreement(ACIA, 2009), dan ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA, (2009) maupun ASEAN dengan mitra perdagangan bebasnya (ASEAN FTA Partners/AFP) seperti Australia, Cina, Jepang, India, Korea, dan Selandia Baru, serta Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP. Seluruh dinamika tersebut merupakan tahapan penting yang dilalui ASEAN sehingga pasti memberikan cara pandang yang berbeda dalam memahami MEA ketimbang hanya melihat di bagian ujungnya
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/joko–siswanto/mea-asean-2015-proses-harmonisasi-di-tengah-persaingan_57f212c6947e61550baa1cb2
Comments are currently closed.